Facebook | Contact Us Copyright 2011. www.softkid.net . All Right Reserved


TRANSFER-EMBRIO-(TE)

Teknologi ini mulai diintroduksi di Indonesia pada dekade 1980-an. Sampai tahun 2000 kelahiran pedet hasil TE di negara kita masih dibawah 500-an ekor. Secara teoritis program TE ini sangat menjanjikan karena seekor betina donor embrio dapat menghasilkan kurang lebih 20 ekor pedet kualitas unggul per tahunnya.Masih rendahnya kelahiran pedet hasil TE membuktikan bahwa perkembangan TE di negara kita masih lamban. Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain ketersediaan embrio (beku atau segar), biaya operasional TE yang tinggi (sekitar Rp 500 s/d Rp 600 ribu rupiah untuk transfer sebuah embrio), kelembagaan yang belum mantap, tenaga ahli masih sedikit, peralatanTEyangterbatas,dll.
Program TE adalah serangkaian proses yang berawal dari penyediaan embrio unggul suatu ternak sampai dengan mendeposisikan embrio tersebut pada uterus. Koleksi dan penempatan embrio pada saluran organ reproduksi betina (kornua uteri) dapat dilakukan dengan tanpa operasi/non surgical ataupun dengan operasi/ surgical. Pada umumnya pelaksanaan transfer embrio tanpa operasi dilakukan pada hewan-hewan besar (sapi, kerbau) sebaliknya transfer embrio pada hewan-hewan kecil (kambing, domba, kelinci) dilakukandenganoperasi.
Untuk memperoleh embrio dapat dipenuhi embrio dari hasil IVF ataupun dari embrio yang berasal dari hewan betina donor. Hewan betina donor merupakan hewan betina unggul/terseleksi terhadap sifat-sifat (produksi) yang dikehendaki dan telah dikawinkan baik secara alam atupun inseminasi buatan dengan pejantan yang unggul pula, sehingga akan dapat dipanen embrio yang juga mempunyai sifat-sifat unggul. Kemudian embrio-embrio yang diperoleh ditransfer ke hewan betina resipien. Hewan betina resipien adalah hewan betina yang harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menerima embrio dari hewan donor serta mampu sebagai tempat berkembang- nya embrio tersebut sampai menjadi foetus dan melahirkan individu baru.
Sistem Pencatatan dan Penilaian Hasil Inseminasi
Sistem-Pencatatan
Pencatatan (recording) dalam pelaksanaan inseminasi buatan hampir sama pentingnya dengan semen dari pejantan. Pencatatan diperlukan untuk :
1. menilai keterampilan kerja inseminator dan sampai dimana ia menguasai teknik inseminasi
2. menilai kesanggupan peternak dalam mendeteksi birahi
3. menentukan sebab-sebab kegagalan yang bersumber pada pejantan atau pada hewan betina
4. memberi data untuk penilaian hasil inseminasi dan efisiensi reproduksi
5. memperkirakan waktu kelahiran anak yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran
6. memberi informasi tentang identitas induk dan ayah dari anak yang lahir dari hasil inseminasi buatan
Dengan kata lain pencatatan diperlukan untuk menentukan maju mundurnya program inseminasi buatan pada satu individu betina, pada sekelompok ternak betina dalam suatu peternakan, pada sekelompok ternak betina dalam suatu daerah atau wilayah inseminasi buatan, bahkan maju mundurnya program inseminasi buatan secara nasional.
Sistem pencatatan merupakan suatu pekerjaan administratif tersendiri pada suatu pusat inseminasi buatan atau dalam program inseminasi buatan secara nasional. Di negara-negara maju, jumlah formulir yang dipakai dalam pencatatan inseminasi buatan mencapai lebih dari 10 buah. Pada pusat inseminasi buatan yang melayani lebih dari 50.000 sapi betina pertahun, dipergunakan sistem kartu-terobos dengan data yang diolah oleh komputer. Kesadaran akan kegunaan pencatatan dan populasi ternak yang sangat banyak membuat sistem pencatatan suatu pekerjaan yang kolosal. Di Indonesia, dengan segala sesuatu yang seba kurang, baik jumlah ternak maupun kesadaran akan kegunaan pencatatan, sulitlah untuk menerapkan sistem pencatatn yang ada diluar negeri dalam program inseminasi buatan.
Namun demikian pencatatan, bagaimanapun sederhananya, harus dilakukan untuk keberhasilan program inseminasi buatan. Beberapa formulir pencatatan telah dibuat oleh Direktorat Jenderal Peternakan untuk diisi oleh inseminator atau pelaksana inseminasi buatan didaerah-daerah (lihat lampiran).
Pada prinsipnya catatan inseminasi buatan mengandung informasi mengenai nama dan alamat peternak atau pemilik ternak; nama, nomor, bangsa, gambar warna dan nama induk dan ayah hewan betina yang diinseminasi; keadaan birahi dan tanggal inseminasi pertama, kedua dan ketiga; nama atau nomor kode pejantan; nama inseminator; tanggal dan hasil pemeriksaan kebuntingan; tanggal melahirkan dan kelamin serta nama atau nomor anak; dan tanggal serta keterangan tentang pemeriksaan dokter hewan atau kejadian abortus yang mungkin terjadi. Catatan inseminasi dibuat untuk setiap individu betina dan untuk kelompok betina yang diinseminasi dalam satu kandang, satu desa atau satuwilayahinseminasi.
Untuk sapi yang mempuanyai siklus birahi 18-24 hari (sapi-sapi eropa), apabila terjadi birahi lagi dalam waktu 18 - 24 hari sesudah inseminasi berarti bahwa pada umumnya fungsi reproduksi sapi betina tersebut normal; yang harus ditinjau atau ditelaah adalah keterampilan kerja inseminator atau kesuburan semen atau bibit pejantan. Sebaliknya, apabila sapi betina kembali birahi diluar jangka waktu tersebut berarti bahwa sebab kegagalan perlu dicar pada ternak betina itu sendiri atau pada kalalaian atau kurang pengetahuan peternak dalam mendeteksi birahi. Karena siklus birahinya yang mungkin lebih pendek, maka pada sapi-sapi potong di Indonesia jangka waktu tersebut diatas disesuaikan atau dipersingkat.
Khusus bagi sapi perah, perlu dibuat suatu catatan produksi yang memuat produksi susu rata-rata tiap pagi dan sore untuk setiap bulan laktasi, lama masa kering dan lama masa laktasi, dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan terutama mengenai kesehatan hewan secara keseluruhan dan kesehatan ambing. Untuk sapi potong perlu dicatat mengenai berat lahir dan rata-rata pertambahan berat badan perhari selama masa pertumbuhan sampai hewan mencapai dewasa tubuh dan siap untuk dipasarkan
Penilaian Hasil Inseminasi Buatan
Mempertahankan tingkatan fertilitas yang tinggi adalah dasar dan tujuan setiap program peternakan, kapan dan dimanapun. Makin banyak hewan betina yang kawin berulang (repeat breeders) akan sangat merugikan baik bagi pelaksana inseminasi buatan maupun dan terutama bagi peternak.
Walaupun keunggulan genetik pejantan yang ditonjolkan dalam suatu program inseminasi buatan, namun kesediaan peternak menerima pelayanan inseminasi terutama didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomik. Harapan didasarkan dimasa depan dengan peninggian mutu ternak dalam konsiderasi akseptasi pelayanan inseminasi buatan dapat dikecilkan artinya oleh kemungkinan penurunan produksi dalam waktu singkat karena kegagalan reproduksi. Konsepsi yang tertunda dapat menyebabkan kerugian finansial bagi peternak yang mengalami hasil-hasil konsepsi yang rendah dengan pelaksanaan inseminasi buatan pada ternaknya akan cenderung untuk kembali menggunakan perkawinan alam.
Salah satu pembatasan penentuan efisiensi reproduksi dengan cepat ialah tidak adanya suatu cara penentuan kebuntingan secara mudah dan objektif seagera sesudah konsepsi. Setiap ternak sapi, misalnya, memerlukan pemeriksaan yang teliti dan memakan waktu oleh seorang Dokter Hewan untuk menentukan kebuntingan secara rektal. Kemungkinan diagnosa yang tepat hanya dapat terjadi sesudah melewati beberapa minggu dari saat inseminasi dan kemungkinan tersebut meninggi danegan bertambahnya waktu. Suatu diagnosa palpasi rektal yang positif mungkin hanya berlaku pada saat itu karena banyak faktor, terutama penyakit-penyakit yang menyebabkan abortus, dapat menginterupsi jalannya kebuntingan yang normal. Jadi, ukuran terakhir yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat. Akan tetapi, untuk menunggu sampai terjadinya kelahiran akan terlampau lambat dalam penentuan kebijaksanaan selanjutnya dalam pelaksanaan program inseminasi, apalagi bila tidak terjadi kebuntingan.
Untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan inseminasi buatan sebagai dasar penentuan kebijaksanaan selanjutnya.
Non-return rate (NR). Salah satu ukuran yang sering dipakai ialah yang disebut non-return rate atau prosentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada perminataan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 atau 60 sampai 90 hari. Nilai-nilai ini disebut nilai NR pada 28 sampai 35 hari atau nilai NR pada 60 sampai 90 hari; nilai NR tersebut terakhir umumnya lebih tepat. Jadi nilai NR pada 60 sampai 90 hari adalah perbandingan jumlah sapi - sapi di inseminasi dengan jumlah sapi - sapi tersebut yang kemudian kembali minta diinseminasi (repeat breeder) dalam periode tsb :
Penialaian NR berpegang pada asumsi bahwa sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin (non-return) adalah bunting. Asumsi atau anggapan tersebut tidak selalu benar. Selain bunting, sapi-sapi betina yang tidak dilaporkan minta kaawain lagi kemungkinan telah mati, dijual, hilang, atau mengalami birahi tenang (silent heat), memiliki corpus luteum persistens yaitu badan kuning pada kandung telur yang seharusnya menghilang tetapi terus menetap secara abnormal, atau karena gangguan-gangguan lain. Kelalaian atau kemalasan peternak atau penunggu ternak untuk melaporkan adanya birahi pada sapi-sapi betina menyebabkan tingginya nilai NR tanpa keberhasilan inseminasi.
Sebaliknya, sapi betina yang kembali minta di inseminasi (repeat breeder) belum tentu tidak bunting, karena kira-kira 3,5% sapi-sapi bunting, terutama yang bunting muda, masih memperlihatkan tanda-tanda birahi. Kemungkinan lain ialah sapi tersebut tadinya bunting tetapi telah terjadi kematian mudigah (mortalitas embrional), keguguran (abortus), pengerasan (mummificatio) foetus, penghancuran (maceratio) foetus dan kelainan-kelainan lain.
Berbagai faktor mempengaruhi nilai NR dan kebenarannya. Pertama-tama adalah faktor-faktor yang langsung berhubungan dengan metoda pengukuran, termasuk jumlah sapi yang diinseminasi per contoh semen atau pe pejantan, waktu antara inseminasi sampai penghitungan sapi betina yang kembali minta diinseminasik dan pengaruh-pengaruh biologik yang cenderung untuk mempertinggi jumlah sapi anstrus yang tidak bunting. Berikutnya adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesuburan, termasuk umur pejantan dan betina, musim, umur semen, penyakit-penyakit, teknik perlakuan terhadap semen dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut prosentase non-return hanya dapat dinyatakan signifikan dan dapat dipertanggungjawaabkan apabila dihitung dari suatu populasi ternak yang besar. Memang dinegara - negara maju dengan populasi ternak betina yang sangat besar dalam setiap usaha peternakan sapi, disamping mahalnya tenaga Dokter Hewan untuk mendiagnosa kebuntingan sapi-sapi betina tersebut satu per satu secara rektal, penenutan hasil inseminasi semata-mata berdasarkan nilai NR.
Kadang-kadang nilai NR dicampur baurkan dengan nilai "conception rate" (CR), yaitu angka kebuntingan nyata yang di diagnosa per rektal. Di Amerika Serikat, kebanyakan nilai NR pada 60 sampai 90 hari mencapai rata-rata 65 - 72% (Roberts, 1971). Nilai NR yang dicapai dalam periode 28-35 kira-kira 10 sampai 15% lebih tinggi daripada NR pada 60 sampai 90 hari. Sebaliknya, angka NR pada 60 sampai 90 hari umumnya adalah 5,5 sampai 6% lebih tinggi daripada angka konsepsi (CR) yang ditentukan dari hasil eksplorasi rektal. Dari satu juta sapi betina, nilai NR dan CR masing-masing adalah 68% dan 60%. Kira-kira 1,5 sampai 2% foetus menghilang antara 90 hari sampai waktu lahir (Barrett et al., 1948; Mc Sparrin & Patrick, 1967).
Angka konsepsi atau Conception Rate (CR). Suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil inseminasi adalah prosentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama, dan disebut conception rate atau angka konsepsi. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh Dokter Hewan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi.
Angka konsepsi ditentukan oleh 3 faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi.
Pada perkawinan normal jarang ditemukan suatu keadaan dimana hewan jantan dan betina mencapai kapasitas kesuburan 100%. Walaupun masing-masing mencapai tingkatan kesuburan 80%, pengaruh kombinasinya menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%(80x80).
Teknik inseminasi yang baik akan mempertahankan nilai ini, akan tetapi setiap penurunan efisiensi reproduksi merupakan suatu persamaan faktorial dari ketiga variable tersebut diatas (prosentase kesuburan jantan x prosentase kesuburan betina x prosentase efisiensi kerja inseminator). Perhatikan bahwa dalam suatu persamaan faktorial, hasil kali adalah selalu lebih rendah daripada faktor terendah. Jadi, kerendahan efisiensi pada salah satu faktor yang lebih merugikan daripada efisiensi yang cukup pada semua faktor tersebut.
Di negara-negara maju pekerjaan Dokter Hewan termasuk diagnosa kebuntingan, dilakukan menurut perjanjian antara peternak dan Dokter Hewan didaerahnya, dan tidak ada hubungan dengan pusat inseminasi buatan. Akan sangat mahal bagi suatu pusat inseminasi buatan untuk membiayai tenaga Dokter Hewan khusus untuk melakukan diagnosa kebuntingan bagi pusat inseminasi buatan tsb. Di Indonesia, penilaian hasil inseminasi dengan cara ini memungkinkan, karena jumlah hewan yang di inseminasi masih terbatas dan program inseminasi buatan sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruhnya, secara langsung atau tidak langsung dilakukan oleh dan atas biaya atau subsidi pemerintah, pusat dan/atau daerah.
Jumlah Inseminasi per Kebuntingan atau Service per Conception (S/C). untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi di antara individu-individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betina-betina yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak. Oleh karena itu sistem ini kurang populer. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina dalam kelompok tersebut. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tsb.
Calving Rate. Oleh karena kesukaran-kesukaran dalam penentuan kebuntingan muda dan karena banyaknya kematian-kematian embrional atau abortus maka nilai reproduksi yang mutlak dari seekor betina baru dapat ditentukan setelah kelahiran anaknya yang hidup dan normal kemudiandibuat analisa mengenai inseminasi-inseminasi berturut-turut yang menghasilkan kelahiran dalam satu populasi ternak. Sistem penilaian ini disebut Calving Rate. Jadi Calving Rate adalah prosentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi (apakah pada inseminasi pertama atau kedua dan seterusnya).
Dalam suatu populasi yang besar dar sapi-sapi betina fertil dan diinseminasi dengan semen yang fertil pula, maka calving rate dapat mencapai 62% untuk satu kali inseminasi, bertambah kira-kira 20% dengan dua kali inseminasi dan seterusnya. Besarnya nilai calving rate tergantung pada efisiensi kerja inseminator, kesuburan jantan, kesuburan betina sewaktu inseminasi dan kesanggupan menerima anak di dalam ikandungan sampai waktu lahir.
Perry (1960) yang mensiter Herman memberikan suatu contoh panen yang baik dari hasil inseminasi buatan pada Clemson Agricultural coillege, South Carolina, USA, dengan 500 ekor sapi betina.
Angka konsepsi didasarkan pada diagnosa kebuntingan secara rektal sesudah inseminasi buatan dan meliputi periode 2 tahun (1955 sampai 1957) sebagai berikut :
1. Dari seluruh sapi betina (660 ekor), pada inseminasi pertama hanya 56% yang menjadi bunting, pada inseminasi kedua 74%, dan pada inseminasi ketiga 81% dari semua sapi menjadi bunting
2. Rata-rata jumlah inseminasi per konsepsi (S/C) adalah 2,0. Beberapa betina diinseminasikan sampai 4 atau 5 kali, dan lebih sedikit lagi yang di inseminasi sampai 9 kali
3. Jumlah seluruh sapi yang akhirny menjadi bunting dalam jangka waktu itu adalah 97%
4. Dua prosen yang tidak bunting dijual karena steril dan satu prosen dijual karena alasan-alasan lain
Hasil - hasil tersebut diatas cukup baik untuk kelompok hewan sebesar itu. Hampir semua peternak cukup puas apabila 85 sampai 95% dari seluruh sapinya bunting dan beranak sesudah tiga kali inseminasi. Adalah tidak bijaksana dan tidak ekonomik untuk menginseminasi sapi lebih dari lima kali. Biasanya, atau sebaiknya pemilik ternak melapor kepada Dokter Hewan setelah tiga kali inseminasi tanpa hasil untuk diselidiki mengapa tidak terjadi kebuntingan dan diusahakan memulihkan kembali kesuburan sapi-sapi betina tersebut.

KLONING
Teknologi ini menjadi booming di dunia pada sekitar bulan Juli 1997 ketika di laporkan hasil penelitian Ian Wilmut dari Roslin Institut Skotlandia tentang lahirnya seekor domba hasil kloning yang diberi nama Dolly. Kloning pada hewan adalah usaha untuk mengembangbiakkan suatu individu tanpa mengubah material genetik dari induknya (sifat individu baru yang dilahirkan sama dengan induk yang diklon). Teknik kloning dilakukan melalui rekayasa sel dengan memindahkan intisel somatik sebagai pembawa materi genetik induk kedalam sel telur yang diambil dari induk lainya.
Prinsipnya adalah sejumlah sel telur yang telah dikeluarkan inti selnya kemudian diganti inti berisi material genetik dari sel somatik induk hewan yang di-klon. Penyatuan antara sel telur dengan inti berisi materi genetic baru distimulasi oleh arus listrik (mirip kejadian fertilisasi), maka sel telur tersebut akan mengalami pembelah- an menjadi embrio. Embrio-embrio yang terjadi (tahap morula/blastula) kemudian di-transfer ke betina-betina resipien. Betina-betina resipien itu sebagai tempat untuk ber- kembangnya embrio-embrio tersebut sampai dengan dilahirkan menjadi individu-individu baru. Setidaknya terdapat enam tahapan dalam pelaksanaan kloning yaitu:

1. Mempersiapkan hewan atau sebagai donor sel telur, sebenarnya yang paling pokok adalah donor dapat menyediakan sel telur dalam jumlah yang cukup banyak. Sel telur itu dapat dikoleksi dari ovarium hewan donor baik in vivo maupun in vitro. Nukleus pada setiap sel telur yang didapatkan di keluarkan, sehingga sel telur itu tidak mengandung inti disebut sel enukliasi.

2. Menpersiapakan hewan sebagai donor material genetic (hewan yang akan diklon), hewan ini akan diambil sejumlah nukleusnya (mengandung material genetik) dari sel somatiknya (sel ambing misalnya).

3. Penggabungan antara sel enukliasi dengan nukleus berisi material genetik, proses pengabungan ini dilakukan dengan memindahkan inti berisi material genetic kedalam sel enukliasi yang dikuti dengan pemberian arus listrik sehingga terjadi stimulasi listrik mirip kejadian pembuahan meskipun tanpa kehadiran spermatozoa.

4. Mengamati perkembangan embrio, setelah terjadi penggabungan maka terjadi pembelahan sel blastomer dan terbentuklah embrio.

5. Melakukan transfer/implantasi embrio dalam uterus resipien, embrio-embrio itu kemudian ditransfer kedalam kornua uteri dengan menggunakan teknik transfer embrio dan membutuhkan sejumlah resipien.Mengamati proses kebuntingan dan kelahiran, resipien yang telah menjadi bunting dan kemudian melahirkan maka individu yang dilahirkan mempunyai penampilan genetik dan eksterior yang sama dengan induk donor materialgenetik.

GIFTdanZIFT
Pada kasus-kasus infertilitas tertentu pada hewan betina transfer gamet (sel telur dan spermatozoa) dan zigot dapat dilakukan. Deposisi keduanya (gamet dan zigot) pada tuba Fallopii. GIFT dilakukan dengan mendeposisikan sel telur yang telah matang dan spermatozoa secara berurutan menggunakan jarum/kateter kedalam salah satu posisi di tuba Fallopii. Sel telur dan spermatozoa diharapkan langsung dapat melakukan proses pembuahan secara alami di saluran itu. Selanjutnya hasil fertilisasi akan berkembang menjadi individu baru.
ZIFT, teknik ini hampir mirip dengan GIFT, perbedaanya adalah yang ditransfer sudah berwujud zigot dengan lokasi penempatan yang sama. Sebelumnya zigot dikultur dengan teknik fertilisasi in vitro yakni mempertemukan sel telur dan spermatozoa dalam petridish.

ICSIdanSUZI
Secara normal proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa dilakukan dengan aktivasi spermatozoa dalam melakukan kapasitasi, kemudian reaksi akrosom untuk mengaktifkan sel-sel yang terdapat dalam akrosom untuk menghasilkan enzim-enzim guna menembus material-material yang menyelimuti sel telur (sel-sel kumulus) dan dinding sel telur (zona pelusida). Menurut Bazer et al., (1993) terdapat 9 macam enzim yang disekresikan oleh akrosom (hyaluronidase, proacrosin, esterases, phospolipase A2, acid phosphatase, aryl sulphatases, beta-N.acetylglucosaminidase, aryl amidase, dan non specific acid proteinases) untuk mendukung penetrasi spermatozoa kedalam sel telur. Ada kalanya karena berbagai hal spermatozoa tidak mampu melakukan penetrasi secara alamiah, hal ini dapat diatasi dengan teknik ICSI dan SUZI.
Pada teknik ini spermatozoa baik secara individu/kelompok distimulasi untuk lebih mempunyai potensi membuahi sel telur dengan perlakuan-perlakuan khusus. Spermatozoon terseleksi dimasukkan kedalam sel telur melalui mikroinjeksi. Deposisi spermatozoon pada sitoplasma sel telur dikenal dengan teknik intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Apabila spermatozoon dideposisikan pada tempat diantara zona pelusida dan sitoplasma disebut subzonal sperm insertion (SUZI).

REFERENCE:

Partodihardjo, S. 1985. Ilmu Produksi Hewan. Produksi Mutiara, Jakarta.

Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.


Artikel Terkait:


Related Articles



0 Response to "TRANSFER-EMBRIO-(TE)"

Posting Komentar